CINTAKU LAHIR DI BUMI MARONGGELA
Oleh:
Evant Aleczandre Lawe
Di senja Kota Kupang, kuluangkan waktu di pantai
Lasiana untuk menikmati tenggelamnya sang sinar Suria. Aku termenung sambil
bersandar di pohon bakau, angin sore berhembus begitu sejuk seakan membawaku
bersama tenggelamnya sang suria. Pikiranku ikut terbawa oleh rikanya ombak yang
memecah bibir-bibir tanggul. pikiran mulai membawaku akan kota kecil nan jau
“Maronggela”, dimana aku dilahirkan, dibesarkan, dan mengenal arti Cinta.
Akankah kota kecilku melahirkan seribu harapan bagi
penghuninya, aku terpranjak, ketika ku ingat akan cerita seoarang yang ku sadur
dari salah satu situs di internet, situs ini menceritakan tentang perjalanan
seseorang ke maronggela dalam rangka peliputan berita, katanya perjalananku ke
maronnggela sangat lelah dan cape, jalanya rusak dan jlek dan sebagainya.
Mungkinkah ini benar? Pernyataan ini tidak mengurangi rasa cintaku akan kota
kecilku maronggela. Bagiku maronggela bukan hanya sebongkah tana yang
berpenghuni tetapi sebongkah kenangan yang penuh misteri. Mungkin bagi
kebanyakan orang Maronggela hanyalah sebuah kampung yang terisolir, kampung
yang belum punya PLN, atau mungkin bagi sebagian orang maronggela hanyalah
hamparan padang yang luas. Sesungguhnya itu bukan satu-satunya gambaran
Maronggela. Maronggela adalah sebuah peradaban yang berdiri di atas budaya dan
keindahan, yang jika di uraikan satu persatu, bukupun tak mampu memutnya. Masi
mungkinkah aku berbangga hari ini, masi mungkinkah aku bercerita tentang keindahan
budaya maronggela hari ini, Masi mungkinkah kecintaaku pada kota kecilku tak berubah?
Sampai kapanpun aku tetap mencintaimu...
Tidak peduli seberapa besar permasalahn datang,
tidak peduli seberapa besar orang mau menghancurkanya, tidak peduli seberapa
besar orang meraup keuntungan untuk dirinya di kota kecilku, yang ku peduli
hanyalah maronggela kecintaaku, maronggela harapanku akan hari esok, dan
maronggela manifestasi diriku. Di sinilah pertama kali aku menanggis, disilah
pertama kali aku tersenyum dan tertawa, dan disinilah aku bermain bersama alam.
Watakku di bentuk oleh hamparan padang, lembah dan gunung.
Ketika semua orang mulai meninggalkanya, ketika arus
urbanisasi kian deras, ketika orang mulai bosan dengan identitas
daerahnya,ketika orang mulai terbawa oleh arus globalisasi. Orang mulai benci
akan kota kecilnya, orang mulai memikirkan tetntang dirinya dan melupakan
asalnya, Kota kecil hanyalah spenggal sajak di tengah sibuknya rutinitas
perkotaan. Kota kecilku maronggela hanyalah cerita seglintir orang di negeri
sebrang. Masih mungkinkah Mereka kembali, masi mungkinkah mereka bersua sekian
lama dengan kota kecilnya, atau mungkin mereka sudah hilang di telan arus
globalisasi. Oh.....jangan,,,,jangan,,,mereka harapan kota kecilku.
Kota kecilku adalah aset bagiku, kota kecilku adalah
ladang politik seglintir orang, kota kecilku adalah pewarna budaya kabupaten
ngada. Aku berharap cerita keindahan budaya kota kecilku tidak sirnah di telan
waktu, Aku berharap semoga semua insan yang mengenal maronggela mencintainya.
Mungkin Bukan waktunya lagi bagi kita untu berpikir
tentang Gaza, untuk berpikir Ukraina, atau berpikir Amerika, Kota besar di
pikirkan oleh banyak orang. Kita hidup dan di lahirkan bukan dari Gaza atau
Amerika, kita hidup dan dihidupkan Oleh tanah yang melahirkan Kita. Aku tak
peduli berapa suara pesimis yang bertiup kencang, aku tak peduli berapa suara
perpecahan yang di tabuh, yang ku pedulikan hanyalah berapah suara Optimis yang
bedengung dan berapah suara Pecintah perubahan berkumandang..
Salam................