Rabu, 06 Agustus 2014

CINTAKU MARONGGELA, Kabupaten Ngada

CINTAKU LAHIR DI BUMI MARONGGELA
Oleh: Evant Aleczandre Lawe

Di senja Kota Kupang, kuluangkan waktu di pantai Lasiana untuk menikmati tenggelamnya sang sinar Suria. Aku termenung sambil bersandar di pohon bakau, angin sore berhembus begitu sejuk seakan membawaku bersama tenggelamnya sang suria. Pikiranku ikut terbawa oleh rikanya ombak yang memecah bibir-bibir tanggul. pikiran mulai membawaku akan kota kecil nan jau “Maronggela”, dimana aku dilahirkan, dibesarkan, dan mengenal arti Cinta.
Akankah kota kecilku melahirkan seribu harapan bagi penghuninya, aku terpranjak, ketika ku ingat akan cerita seoarang yang ku sadur dari salah satu situs di internet, situs ini menceritakan tentang perjalanan seseorang ke maronggela dalam rangka peliputan berita, katanya perjalananku ke maronnggela sangat lelah dan cape, jalanya rusak dan jlek dan sebagainya. Mungkinkah ini benar? Pernyataan ini tidak mengurangi rasa cintaku akan kota kecilku maronggela. Bagiku maronggela bukan hanya sebongkah tana yang berpenghuni tetapi sebongkah kenangan yang penuh misteri. Mungkin bagi kebanyakan orang Maronggela hanyalah sebuah kampung yang terisolir, kampung yang belum punya PLN, atau mungkin bagi sebagian orang maronggela hanyalah hamparan padang yang luas. Sesungguhnya itu bukan satu-satunya gambaran Maronggela. Maronggela adalah sebuah peradaban yang berdiri di atas budaya dan keindahan, yang jika di uraikan satu persatu, bukupun tak mampu memutnya. Masi mungkinkah aku berbangga hari ini, masi mungkinkah aku bercerita tentang keindahan budaya maronggela hari ini, Masi mungkinkah kecintaaku pada kota kecilku tak berubah? Sampai kapanpun aku tetap mencintaimu...
Tidak peduli seberapa besar permasalahn datang, tidak peduli seberapa besar orang mau menghancurkanya, tidak peduli seberapa besar orang meraup keuntungan untuk dirinya di kota kecilku, yang ku peduli hanyalah maronggela kecintaaku, maronggela harapanku akan hari esok, dan maronggela manifestasi diriku. Di sinilah pertama kali aku menanggis, disilah pertama kali aku tersenyum dan tertawa, dan disinilah aku bermain bersama alam. Watakku di bentuk oleh hamparan padang, lembah dan gunung.
Ketika semua orang mulai meninggalkanya, ketika arus urbanisasi kian deras, ketika orang mulai bosan dengan identitas daerahnya,ketika orang mulai terbawa oleh arus globalisasi. Orang mulai benci akan kota kecilnya, orang mulai memikirkan tetntang dirinya dan melupakan asalnya, Kota kecil hanyalah spenggal sajak di tengah sibuknya rutinitas perkotaan. Kota kecilku maronggela hanyalah cerita seglintir orang di negeri sebrang. Masih mungkinkah Mereka kembali, masi mungkinkah mereka bersua sekian lama dengan kota kecilnya, atau mungkin mereka sudah hilang di telan arus globalisasi. Oh.....jangan,,,,jangan,,,mereka harapan kota kecilku.
Kota kecilku adalah aset bagiku, kota kecilku adalah ladang politik seglintir orang, kota kecilku adalah pewarna budaya kabupaten ngada. Aku berharap cerita keindahan budaya kota kecilku tidak sirnah di telan waktu, Aku berharap semoga semua insan yang mengenal maronggela mencintainya.
Mungkin Bukan waktunya lagi bagi kita untu berpikir tentang Gaza, untuk berpikir Ukraina, atau berpikir Amerika, Kota besar di pikirkan oleh banyak orang. Kita hidup dan di lahirkan bukan dari Gaza atau Amerika, kita hidup dan dihidupkan Oleh tanah yang melahirkan Kita. Aku tak peduli berapa suara pesimis yang bertiup kencang, aku tak peduli berapa suara perpecahan yang di tabuh, yang ku pedulikan hanyalah berapah suara Optimis yang bedengung dan berapah suara Pecintah perubahan berkumandang..

Salam................